Saturday, August 20, 2011

Cerpen #1: Tamu Agung

ketika itu semua orang terlihat sibuk, lebih-lebih keluarga kami, ayahku sudah hampir sebulan disibukkan oleh persiapan untuk menerima tamu agung. Orang-orang menyebutnya “Penghulu atau Raja”. Hari itu puncak dari segala kesibukan dibanding hari-hari sebelumnya. Orang-orang di kampungku tampak gembira sekali. Tamu agung itu akan segera datang menyalami semua warga kampung, semua diliputi kegembiraan, hingga diumumkan kalau rumah siapa tamu agung dijamu makan bersama. Agenda penjamuan sengaja dipilih secara acak sebagai surprise bagi para “pencinta”nya, hati dag dig dug kian memenuhi warga desa, apalagi detik-detik pertemuan sebentar lagi akan berdering. Setiap rumah mempersiapkan makanan yang belum pernah dimasak untuk dijamu di hari-hari sebelumnya dalam keluarga. Semua warga desa tiada yang iri, benci, apalagi berkecil hati. Para tamu agung itu seolah milik mereka bersama untuk dijunjung tinggi, dicintai dan disayangi.
         Para tertua kampung dengan pakaian serba indah dan dironai wewangian, lalu berduyun-duyun mereka menjemput sang Raja di dermaga. Hari sudah menunjukkan tanda-tanda berakhir, ditandai akan segera berganti malam, ufuk sudah memperlihatkan merahnya yang akan menenggelamkan sang mentari ke peraduan. Tidak sesosok perahu pun yang nampak mendekat. Suasana semakin hening, hati mereka bertanya-tanya pada waktu yang dijanjikan itu. Para ibu dan anak-anak di rumah sudah siap menerima kabar kedatangannya. Tidak ada HP yang mati saat itu, waktu ditunggu-tunggu bahwa sebentar lagi SMS dari ayah mereka yang menunggu di pelabuhan itu akan segera mengabarkan kalau penghulu kita akan segera menepi.
         Semakin malam, suasana semakin meriah, ramai, riuh dan rasa gembira tiada  tergambarkan. Wangi-wangian tercium di mana-mana, dari anak kecil hingga tua renta. Meunasah-meunasah dan mesjid-mesjid sebagai tempat pertama menyambut kedatangan sang penghulu telah dipenuhi sesak oleh penciptanya. Setiap ada deringan HP, suasana langsung menjadi hening, jangan-jangan ada kabar kalau penghulu sudah disambut oleh tertua-tertua di dermaga.
         Namun malam semakin gelap, gemerincing, air laut di dermaga itu nyaris tak terdengarkan, karena gaduhnya para pencinta yang saling bertanya-tanya. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh secercah sinar nun jauh berlayar di atas garis horizontal laut. “Alhamdulillah”, teriakan puji-pujian kepada Allah membahana di dermaga itu. Ada langsung sujud syukur atas kedatangan penghulu yang dinanti.
         Tanpa pikir panjang, HP yang sudah memanas genggaman pun dinyalakan, SMS pun berhamburan dan bertaburan dikirimkan kepada mereka yang berada di mesjid-mesjid. Semua menyambut dengan gembira, Marhaban… Marhaban… Marhaban… teriakan di mesjid-mesjid semakin bergemuruh, kesibukan semakin memuncak, mempersiapkan pertemuan yang diimpi-impikan dan menunggu gelas-gelas akan berdenting mengikat hati para pencinta untuk tidak lepas menabur cinta, melepas rindu, dan menangis melepas bahagia.
         Begitulah hari pertamanya mereka bermandikan bahagia, melumuri jiwanya dengan cinta dan asmara.
         Bagiku, urusan seremonial tidaklah begitu menarik perhatian, waktu harus dibagi-bagi, jangan sampai larut dalam satu kebahagiaan. Biarlah orang sibuk dengan cintanya, aku punya kesibukan lain yang harus kuselesaikan, ada tanggung jawab yang mesti kuperhatikan, dan ada orang-orang yang harus kulayani sebagai pekerja social.
         Sekedar sesuatu yang harus menghormati, aku telah melakukannya, telah mempersiapkan sesuatu seadanya, dan telah menyambutnya secara bersama-sama. Walaupun aku tahu, bersama-sama dengan “Raja” yang diagungkan jauh lebih  bermakna dari keperluan pribadi kita, namun pikiran itu kutepis begitu saja, mungkin karena perasaanku mengatakan kalau hubunganku dengannya memiliki jarak dibandingkan dengan orang-orang lain yang menyambutnya, rasanya begitu besar penghalang yang membatasi sehingga cintaku sulit menyatu dengannya. Dan kutahu, orang lain juga merasakan hal yang sama. Namun mereka lebih cenderung memaksa diri merebut hati sang Raja yang penuh kasih saying itu.
         Sama sekali bukan watakku untuk senantiasa, luluh di hadapan meskipun dia seorang raja, sehingga kuputuskan bahwa cukup di lain waktu saja aku menyirami cinta yang belum pernah tumbuh ini. Hari-hariku kulalui sebagaimana adanya, walaupun agak berseberangan dengan teman-teman yang lain yang fanatic tulen.
         Hari pun berganti, saat perpisahan pun kini tinggal satu hari lagi, aku merasa tidak enak karena terlalu lama menjauhi mereka, akhirnya kuputuskan untuk bergabung. Kupersiapkan sesuatu yang diperlukan untuk malam besok sebagi malam yang haru dan sendunyawarga desa.
         Esoknya setelah shalat Isya, sang Raja pun berpidato. Dalam pidatonya, ia menyampaikan ucapan terimakasih kepada orang-orang yan telah melayaninya.
         “Saudara-saudaraku hamba Allah Rabbul Izzati. Sudah sebulan aku bersamamu, aku ketahui bagaimana hatimu padaku, bagaimana cinta dan sayangnya engkau padaku, engkau tak pedulikan keter-usik-an tidurmu, malam-malammu engkau habiskan untuk menemaniku, engkau kini menangis karena takut akan perpisahan seperti ini terjadi, engkau sabar atas segala pekerjaan yang aku pikulkan padamu, sehingga begitu terasa cintaku mekar untuk kusemat di setiap keberadaanmu, begitu juga yang lainnya, engkau semua adalah milikku, wahai saudaraku”.
         “Insya Allah tahun depan kita akan kembali bersama merajut cinta lagi, tunggulah aku bersama rindumu, untuk kita nikmati kebersamaan terindah seperti ini. Jika umur kita panjang, tentulah gelas ini akan berdenting kembali merayakan kemenangan gemerlapnya cahaya yang menghiasi jiwa kita untuk saling memadu cinta”.
         “karena itu, sebagai Raja, aku akan menghadiahi engkau semua. Mintalah apa yang engkau inginkan, niscaya aku akan berikan”, lanjut sang Raja.
         Tiba-tiba di antara kerumunan itu, berdirilah seorang temanku dengan wajah lusuh diderai air mata, diliputi sedih dan dirundung rindu, lalu berkata : “wahai kekasihku, tiada lebih baik bagiku engkau tinggalkan sesuatu untukku, cukuplah cintamu saja agar engkau timpakan pada setiap rinduku. Sebagai bukti cintaku padamu, dan bukti cintamu padaku, izinkan aku memelukmu erat-erat karena aku sangat takut… takut takkan bertemu engkau lagi”.
         Dan bergegaslah ia menghampiri sang Raja yang bijaksana, dengan air mata kian bercucuran. “Aku telah memiliki dirimu oh kekasihku… “. Desisnya layu, seraya memeluknya erat-erat dan sang Raja memandangnya dengan pandangan penuh cinta, sehingga para hadirin terkesima dan turut meneteskan air mata pula.
         Dan satu-persatu para hadirin menghampiri sang raja, dan mengatakan bahwa mereka semua juga menginginkan hal yang sama, yaitu Cinta… tidak lebih. Satu demi satu berdiri dan menghampiri sang Raja, lalu memeluk dan menciumnya dengan pelukan dan ciuman penuh cinta dan kasih saying, begitu juga sang raja tanpa melepaskan kesempatan yang haru itu. Semua cinta milik mereka, semua suka dan duka milik mereka, untuk mereka nikmati bersama.
         Giliran selanjutnya jatuh di tempat dimana tempat dudukku, dan aku bangun dengan hati yang kecut, kecil dan cinta yang kunodai. Kupeluk erat-erat sang Raja, dan ia membalasnya juga, lalu ia memandangiku dengan pandangan penuh cinta juga, tapi aku merasa sangat malu, aku sembunyikan wajahku di antara jubah-jubahnya yang semerbak wangi dan bersih. Air bening itu keluar menetesi jubah sang Raja, pilu, sedih, menyesal seakan memenuhi pori-poriku. Pelukan itu adalah pelukan yang belum pernah kurasakan, yaitu pelukan yang lembut dan kasih saying. Berjuta-juta perasaan hadir disana, membayangkan begitu berartinya pertemuan di akhir perjumpaan ini. Namun alangkah menyesalnya selama ini kelembutan belaian yang penuh cinta itu telah banyak direbut orang.
         Sudah terbagi. Andai kata semua kelembutan dan cinta itu utuh ku miliki dari awal pertemuan itu. Saat dentingan gelas jamu makan dulu aku menyambutnya, sungguh sangat berarti hidup ini. Tiada pilihan lain selain kuucapkan selamat jalan…
         “Selamat jalan… selamat jalan… selamat jalan…”, ucapku lembut, lirih, pilu.
         “Selamat jalan wahai Raja segala bulan, wahai penghulu segala bulan, SYAHRUR RAMADHAN”.

(Samsudin, 12 sep 08 M/12 Ramadhan 1429 H)
         

0 komentar:

Post a Comment

Bagi Pembaca yg tidak memiliki Google Account (bukan blogger), bisa anda gunakan format Name/Url. Masukkan nama anda di kolom Name dan masukkan url home Facebook atau TL twitter anda di kolom Url. Terima Kasih.